Tragedi Pesantren Sidoarjo: Telaah Pertanggungjawaban Pidana Pengurus dan Pelaksana
10/12/20253 min read


Kejadian robohnya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo pada akhir September 2025 menyisakan duka mendalam bagi dunia pendidikan dan hukum di Indonesia. Insiden yang merenggut nyawa lima santri serta melukai sejumlah lainnya ini tidak semestinya hanya dipandang sebagai “musibah” atau “takdir semata.” Fakta di lapangan justru mengungkap adanya proses renovasi yang dilakukan secara ceroboh, pengecoran atap pada hari kejadian, serta indikasi kuat bahwa bangunan tersebut berdiri tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Dalam konteks ini, keadilan harus hadir dengan sorotan yang lebih tajam.
Peristiwa ini bukan sekadar kecelakaan yang datang tiba-tiba, melainkan puncak dari rangkaian kelalaian berlapis. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana wajib ditelusuri secara menyeluruh, mulai dari pengambil keputusan hingga pelaksana di lapangan. Baik pengurus pesantren yang bertindak sebagai pemilik dan penanggung jawab, maupun para pekerja konstruksi, keduanya harus diusut secara tuntas sesuai hukum yang berlaku.
Tanggung Jawab Utama Pengurus Pesantren
Pengurus pesantren, yang dalam hal ini diwakili oleh pengasuh atau yayasan, merupakan pihak utama yang memikul tanggung jawab. Sebagai penyelenggara pendidikan, mereka memiliki kewajiban hukum dan moral untuk menyediakan lingkungan yang aman dan layak bagi santri. Kegagalan memenuhi kewajiban ini, yang berujung pada hilangnya nyawa, menempatkan mereka pada posisi utama dalam potensi pertanggungjawaban pidana.
Kelalaian pengurus terlihat pada tahap perencanaan, perizinan, dan pengawasan. Pengabaian terhadap prosedur perizinan, khususnya IMB atau Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), merupakan kesalahan fundamental. IMB bukan sekadar formalitas administratif, melainkan instrumen penting negara untuk menjamin keselamatan konstruksi. Dengan melewati prosedur ini, pengurus telah secara sadar menolak mekanisme verifikasi teknis yang diwajibkan pemerintah. Tindakan ini merupakan kelalaian berat, mengingat mereka seharusnya menyadari risiko besar membangun fasilitas publik tanpa pengawasan.
Selain itu, keputusan untuk menambah lantai dan melakukan pengecoran atap pada hari kejadian menunjukkan sikap gegabah dalam pengelolaan renovasi. Menambah beban pada struktur lama tanpa kajian teknis mendalam adalah kelalaian fatal. Alasan keterbatasan dana tidak dapat dijadikan pembenaran, karena hukum tidak memberi toleransi terhadap penghematan biaya yang harus dibayar dengan nyawa manusia.
Secara hukum, pengurus pesantren dapat dijerat berdasarkan Pasal 46 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang menyatakan:
"Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak 20% (dua puluh per seratus) dari nilai bangunan gedung, jika karenanya mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain."
Selain itu, Pasal 359 KUHP tentang kematian karena kelalaian juga sangat relevan untuk menjerat pengurus pesantren.
Tanggung Jawab Pelaksana Konstruksi: Eksekusi yang Lalai dan Profesionalisme yang Dilanggar
Rantai pertanggungjawaban tidak berhenti pada pengurus saja. Pelaksana konstruksi di lapangan, mulai dari mandor hingga tukang, juga memiliki andil dalam kelalaian yang berujung tragedi ini. Meski mereka menerima perintah, dalih “hanya menjalankan tugas” tidak membebaskan mereka dari tanggung jawab hukum, terutama saat perintah tersebut jelas membahayakan keselamatan.
Kelalaian para pelaksana terlihat dari aspek teknis pelaksanaan, seperti kegagalan sistem penopang (shoring), penggunaan material berkualitas rendah, dan metode kerja yang salah. Seorang mandor yang profesional seharusnya menolak atau paling tidak memberi peringatan jika instruksi kerja berpotensi membahayakan. Dalam konstruksi hukum, pelaksana dapat dianggap turut serta melakukan tindak pidana kelalaian yang menyebabkan kematian (medepleger).
Rantai Kelalaian yang Harus Diusut Tuntas
Tragedi di Pondok Pesantren Al Khoziny adalah gambaran nyata dari rantai kelalaian yang mematikan. Pengurus bertanggung jawab atas kebijakan dan pengabaian aturan, sementara pelaksana konstruksi bertanggung jawab atas pelaksanaan yang ceroboh. Keduanya saling terkait dan berkontribusi secara simultan terhadap bencana ini.
Penegakan hukum harus berlaku adil dan tidak berat sebelah. Jaksa penuntut umum perlu berani menjerat kedua pihak dengan pasal-pasal yang relevan: pengurus dengan Undang-Undang Bangunan Gedung dan Pasal 359 KUHP, serta pelaksana dengan Pasal 359 jo. Pasal 55 KUHP. Menghadirkan seluruh pihak yang bertanggung jawab ke pengadilan bukan untuk mencari kambing hitam, melainkan untuk menegakkan keadilan bagi korban sekaligus menjadi preseden penting bagi hukum konstruksi di Indonesia.
Pesan yang ingin disampaikan jelas: keselamatan jiwa dalam pembangunan adalah hukum tertinggi yang harus dihormati. Setiap kelalaian, sekecil apapun, harus dibayar penuh di hadapan pengadilan.

