Keadilan Dijual di Pasar Viral: Bahaya Komodifikasi Hukum

4/11/20251 min read

brown wooden chess piece on brown book
brown wooden chess piece on brown book

Hukum hari ini tak lagi tinggal di ruang sidang atau dalam diskusi para sarjana. Ia sudah masuk ke layar ponsel, disajikan dalam video pendek, dikutip dalam caption media sosial, dan dikemas seperti barang dagangan.

Fenomena ini tak sepenuhnya keliru. Akses publik terhadap hukum memang semakin terbuka, dan itu perlu diapresiasi. Namun dalam praktiknya, yang marak justru konten-konten hukum yang disederhanakan secara ekstrem — tanpa konteks, tanpa penjelasan, tanpa kehati-hatian.

Banyak yang menyebut diri praktisi hukum berlomba mengejar perhatian warganet. Sebagian melakukannya dengan tanggung jawab, tapi tak sedikit pula yang lebih tertarik pada sensasi. Pasal demi pasal dilempar ke publik sebagai ancaman: “Ini bisa dipidana.” “Pasal sekian mengatur ini.” Seolah semua perkara bisa diselesaikan dengan laporan polisi, seolah penjara adalah solusi utama.

Kecenderungan ini menciptakan budaya hukum yang rapuh. Alih-alih menjadi alat penimbang keadilan, hukum dijadikan instrumen penyerangan. Dan ironisnya, semua ini terjadi justru di era ketika masyarakat disebut makin “melek hukum”.

Pertanyaannya, apakah keterbukaan informasi hukum benar-benar membuat kita lebih adil? Atau justru menjadikan kita saling curiga, saling lapor, dan saling mengintai peluang untuk menghukum?

Lord Birkett, hakim dan advokat asal Inggris, pernah berkata: “Law is not an instrument of vengeance but of justice. It is not a sword to strike, but a scale to weigh.” Hukum bukan pedang untuk menebas, melainkan timbangan untuk menakar. Tapi hari ini, di linimasa digital, hukum lebih sering dipakai sebagai pedang — ditayangkan dalam durasi singkat, dikonsumsi tanpa pemahaman.

Logika algoritma tentu tak memberi tempat bagi penjelasan panjang. Ia menyukai yang gaduh, yang memicu emosi, yang bisa viral. Akibatnya, hukum dipreteli menjadi potongan-potongan ancaman pidana yang mudah dicerna tapi sering kali menyesatkan.

Ini bukan sekadar soal etika membuat konten. Ini soal bagaimana profesi hukum, termasuk advokat, memilih peran di tengah masyarakat. Apakah kita ingin menjadi jembatan yang menjernihkan, atau justru ikut memperkeruh dengan memperdagangkan ketakutan?

Ketika hukum dijadikan komoditas, wibawanya pelan-pelan luntur. Dan saat itu terjadi, yang tersisa bukan keadilan, melainkan sekadar keramaian — tanpa arah, tanpa tujuan, tanpa keadaban hukum yang sehat.