Dijual Murah : Retina manusia hanya Rp.800 ribu

6/11/20252 min read

black and white fur textile
black and white fur textile

Beberapa minggu terakhir, banyak anak muda dan warga kota antre memindai mata di pojok-pojok mal atau titik keramaian. Sebuah aplikasi bernama World App menawarkan Rp800.000 bagi siapa pun yang bersedia menatap ke dalam alat pemindai berbentuk bola perak “Orb” yang tampak futuristik. Tawaran instan di tengah ekonomi yang tidak selalu ramah.

Banyak yang menganggap ini cara cepat dan sah untuk dapat uang. Padahal yang mereka tukarkan bukan sekadar waktu, tapi identitas biologis mereka yang paling unik dan tak tergantikan: retina mata.

World App, bagian dari ekosistem World Coin, mengklaim teknologi ini bertujuan membedakan manusia dari bot — sebuah solusi canggih di tengah lonjakan kecerdasan buatan. Tapi di balik narasi teknologi itu, terselip pertanyaan yang lebih dalam: apakah benar kita hanya sedang diverifikasi? Atau kita sedang dijadikan bagian dari sebuah eksperimen data global?

Yang jadi masalah bukan sekadar soal teknis. Tapi tentang apa yang sebenarnya dikumpulkan. Tak hanya gambar mata, tetapi juga wajah resolusi tinggi, bentuk tubuh, bahkan detak jantung lewat deteksi radar doppler. Semua dikumpulkan oleh satu alat, dengan alasan keamanan dan otentikasi. Ini bukan lagi sekadar verifikasi identitas. Ini adalah pemetaan total atas tubuh manusia.

Data semacam itu bersifat permanen. Tak bisa diganti. Tak bisa diubah jika bocor. Dan hingga hari ini, tak ada verifikasi independen atas klaim World bahwa data akan dihapus setelah diunggah. Tak ada jaminan ke mana data itu benar-benar pergi, atau siapa yang bisa mengaksesnya kelak.

Dalam kerangka hukum Indonesia, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), di mana Pasal 4 ayat (2) menempatkan data biometrik sebagai data pribadi yang bersifat spesifik dan memerlukan perlindungan ekstra. Tidak hanya itu, UU PDP juga mewajibkan setiap pihak yang memproses data pribadi spesifik untuk melakukan Data Protection Impact Assessment (DPIA) atau penilaian dampak perlindungan data pribadi.

Artinya, sebelum kegiatan semacam pemindaian retina dilakukan, seharusnya ada kajian yang mendalam mengenai potensi risikonya terhadap hak-hak subjek data. Apakah kegiatan ini proporsional? Apakah sesuai prinsip minimisasi data? Apakah subjek data paham sepenuhnya terhadap apa yang mereka serahkan? Ini bukan sekadar soal memberi “izin” lewat terms & conditions yang panjang dan rumit — tapi tentang memberikan perlindungan terhadap hak paling mendasar: kendali atas tubuh dan identitas kita sendiri.

Apakah praktik World App sudah sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut?

Jawabannya masih menggantung. Pemerintah, lewat Komdigi, memang telah membekukan sementara izin World Coin dan World ID — sebuah langkah penting. Tapi di lapangan, jejak pemindaian mata telah menyebar. Ribuan, mungkin jutaan, telah menyerahkan akses yang seharusnya paling privat dari tubuh mereka.

Pertanyaannya kini bukan hanya soal apa yang sudah terjadi, tapi juga apa yang akan terjadi nanti.

Jika data ini dipakai untuk melatih AI — maka manusia bukan lagi sekadar pengguna teknologi, tapi bahan bakunya. Jika data ini dijual, dikloning, atau disusupi, maka pemiliknya tak lagi punya kuasa atas dirinya sendiri.

Yang menyedihkan, banyak yang tidak tahu. Karena mereka hanya melihat nominal. Karena tidak ada kampanye literasi yang memadai. Karena di negeri ini, belum banyak yang benar-benar mengerti nilai dari data pribadi — sampai data itu hilang dan digunakan untuk merugikan kita.

Barangkali kita perlu belajar berhitung ulang: bahwa tidak semua bentuk uang cepat itu sepadan. Bahwa tidak semua cahaya teknologi membawa kemajuan. Bahwa retina, yang kita berikan tanpa banyak tanya, bisa saja menjadi pintu bagi kejahatan yang tak kasatmata.

Dan seperti biasa, korban pertama dari teknologi yang terlalu cepat bukanlah para perancangnya. Tapi mereka yang tidak sempat membaca syarat dan ketentuan, sebelum menatap bola logam dan menyerahkan mata mereka.